Harga Emas dan Perak Jakarta

Selasa, 09 Juli 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO 16 TAHUN 1977

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 1977
TENTANG
USAHA PETERNAKAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.              bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional maka peternakan yang merupakan salah satu faktor penunjang yang penting perlu diselenggarakan dengan tertib dan teratur, sehingga dapat diperoleh ternak yang baik dan sehat;
b.              bahwa oleh karena itu dipandang perlu mengatur usaha peternakan dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat:
1.              Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.              Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
3.              Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
4.              Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) juncto Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5.              Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6.              Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3101);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG USAHA PETERNAKAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.              Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang peternakan;
2.              Izin Usaha Peternakan adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri atau pejabat lain yang diberi wewenang olehnya, yang memberikan hak untuk melaksanakan perusahaan peternakan;
3.              Perusahaan Peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersiil yang meliputi kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur dan susu serta usaha menggemukkan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya, yang untuk tiap jenis ternak melebihi dari jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat;
4.              Peternakan Rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak ditetapkan oleh Menteri.

BAB II
WILAYAH USAHA DAN JENIS PETERNAKAN

Pasal 2
Seluruh wilayah Negara Republik Indonesia terbuka untuk semua jenis usaha di bidang peternakan; kecuali apabila Menteri menetapkan lain.

Pasal 3
(1)            Jenis peternakan dapat digolongkan menjadi:
a.              Peternakan Unggas, yang terdiri dari bidang:
a.1.        peternakan ayam telur;
a.2.        peternakan ayam daging;
a.3.        peternakan ayam bibit;
a.4.        peternakan unggas lainnya;
b.              Peternakan kambing dan domba;
c.              Peternakan babi;
d.              Peternakan sapi potong;
e.              Peternakan kerbau potong;
f.                Peternakan sapi perah;
g.              Peternakan kerbau perah;
h.              Peternakan kuda.
(2)            Menteri dapat mengubah dan atau menambah jenis-jenis peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB III
SYARAT-SYARAT PERMOHONAN IZIN USAHA PETERNAKAN DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA PETERNAKAN

Pasal 4
Setiap perusahaan peternakan wajib memiliki Izin Usaha Peternakan.

Pasal 5
Izin Usaha Peternakan dapat diberikan kepada:
a.              Badan Hukum Indonesia;
b.              Perorangan Warga negara Indonesia.

Pasal 6
(1)            Perusahaan Peternakan wajib mempunyai tenaga ahli, modal, dan peralatan yang cukup sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
(2)            Syarat-syarat dan tata cara pengajuan permohonan serta pemberian Izin Usaha Peternakan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 7
Setiap Izin Usaha Peternakan dikenakan Iuran Izin Usaha Peternakan yang besarnya serta tata cara pemungutan, penyetoran, dan penggunaannya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Keuangan.

Pasal 8
(1)            Pemegang Izin Usaha Peternakan wajib dengan nyata-nyata dan sungguh-sungguh mendirikan dan menjalankan perusahaan peternakan sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh Menteri.
(2)            Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 tidak dapat dipindah tangankan dengan cara dan atau bentuk apapun.

Pasal 9
Pemegang Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud Pada Pasal 8 ayat (1) wajib memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan di bidang peternakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV
JANGKA WAKTU DAN JENIS USAHA

Pasal 10
(1)            Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 diberikan menurut jenis/bidang usaha yang dilakukan, masing-masing untuk jangka waktu ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
(2)            Setelah jangka waktu yang ditetapkan habis, maka Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang atas permintaan pemegang izin yang bersangkutan.

Pasal 11
(1)            Izin Usaha Peternakan diberikan dan berlaku untuk 1 (satu) jenis atau lebih dari 1 (satu) bidang usaha peternakan.
(2)            Persyaratan dan ketentuan-ketentuan lain dari tiap-tiap jenis atau bidang usaha peternakan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB V
BIMBINGAN DAN PENGAWASAN

Pasal 12
(1)            Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya melakukan bimbingan dan pengawasan atas pelaksanaan perusahaan-perusahaan peternakan.
(2)            Tata cara dan pelaksanaan bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PETERNAKAN

Pasal 13
Izin Usaha Peternakan berakhir karena:
a.              Jangka waktu yang diberikan telah berakhir;
b.              Diserahkan kembali oleh pemegang izin kepada yang berwenang sebelum jangka waktu diberikan berakhir;
c.              Dicabut oleh yang berwenang memberikan Izin Usaha Peternakan, karena pemegang izin yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran;
d.              Perusahaan yang bersangkutan jatuh pailit;
e.              Perusahaan yang bersangkutan menghentikan usahanya.

Pasal 14
Izin Usaha Peternakan dicabut karena:
a.              Pemegang Izin tidak melakukan usahanya secara nyata dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah Izin Usaha Peternakan dikeluarkan;
b.              Pemegang Izin tidak mentaati serta melakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 15
(1)            Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal-pasal 4, 8 dan 9 diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun.
(2)            Barang siapa karena kealpaannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal-pasal 4, 8 dan 9 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah).
(3)            Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelanggaran.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16
(1)            Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(2)            Selama ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini belum ditetapkan, maka ketentuan yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa Peraturan Pemerintah ini.
(3)            Izin Usaha Peternakan yang telah dikeluarkan sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta
Pada Tanggal 16 Maret 1977
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 16 Maret 1977
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH.


Sabtu, 15 Juni 2013

DEFAUNASI

Referensi tentang Defaunasi
Defaunasi ialah penghilangan atau pengurangan suatu fauna untuk tujuan tertentu, biasanya defaunasi dilakukan bertujuan untuk memperbaiki performa ternak khususnya untuk keperluan peningkatan efesiensi produksi. Defaunasi selain digunakan untuk peningkatan produksi pada ternak ruminansia, proses ini juga berkaitan dengan  perbaikan kondisi lingkungan melalui proses pengurangan emisi gas metana enteric yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Di zaman globalisasi ini, manipulasi kondisi fermentasi rumen berbasis bahan antibiotic mulai ditinggalkan karena seiring adanya kesadaran akan bahaya residu yang ditinggalkan oleh bahan tersebut kedalam produk ternak yang dihasilkannya. Alternatif yang banyak dikembangkan untuk mengatasi hal tersebut  ialah melalui penggunaan bahan organic berasal dari tumbuhan yang memiliki fungsi medis terutama untuk ternak, teknik ini dikenal sebagai fitoterapi.
Beberapa tanaman sebagai pengganti antibiotic tersebut antara lain, akasia, teh, buah-buahan tropic, rumput kebar, telah terbukti memiliki kemampuan memanipulasi kondisi fermentasi rumen seperti menurunkan populasi protozoa, meningkatkan protein mikroba, dan menurunkan produksi metana.
Salah satu memiliki kemampuan defaunasi ialah tanaman pace (Morinda citrifolia). Tanaman ini sudah dikenal memiliki khasiat therapetik untuk manusia seperti anti mikroba, anti fungal, anti protozoa, anti diabetes dan anti oksidan. Tanaman pace (Morinda citrifolia) memiliki sifat karakteristik fermentasi rumen yaitu populasi protozoa, komposisi VFA, kandungan protein mikroba, kandungan NH3, dan produksi gas metana.  
Tabel. Jumlah protozoa, kandungan VFA, kandungan protein cairan rumen dan kandungan NH3 pada taraf M. citrifolia yang berbeda
Variabel
Taraf M. citrifolia (mg)
SE
0
3
6
9
12
Jumlah protozoa (103/ml)
450,00a
405,00a
240,00b
262,50b
210,00b
26,21
VFA (mMol)

Asetat
12,95
11,56
11,95
14,32
12,97
0,67
Propionat
2,80
1,80
2,20
2,77
2,11
0,24
Butirat
1,97
2,08
2,26
2,11
1,94
0,14
Kandungan protein cairan rumen (mg/ml)
65,89b
68,40b
73,42a
77,18a
76,34a
1,30
Kandungan NH3 cairan rumen (mg/100ml)
67,43
68,27
66,60
65,40
65,50
0,51

Superskrip a,b yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05); SE = standar error
            Penurunan populasi protozoa berpengaruh terhadap utilasi N diet dan sintesis protein mikroba intra  rumen sehingga penurunan populasi protozoa akan meningkatkan ketersediaan N ke saluran pencernaan. Hal ini  tercermin dari nilai kandungan protein mikroba cairan rumen yang meningkat (P < 0,05) seiring dengan kenaikan level M. citrifolia. Hasil tertinggi kandungan protein mikroba diperoleh dari penambahan M. citrifolia pada level 6-12mg.
            Kandungan NH3 rumen merupakan pencerminan dari aktivitas degradasi protein pakan dan endogenous protein oleh mikroba rumen melalui mekanisme keseimbangan N dari tubuh ternak. Pada table tersebut penambahan M. citrifolia tidak nyata ( P > 0,05) meningkatkan kandunngan NH3. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas bakteri proteolitik tidak terpengaruh oleh penambahan M. citrifolia.
            Dapat disimpulkan bahwa Morinda citrifolia merupakan salah satu defaunator bagi protozoa sehingga populasi protozoa dapat terkurangi. Taraf penambahan M. citrifolia sebesar 6mg/200mg BK merupakan taraf optimum yang mampu memanipulasi kondisi fermentasi rumen seperti penurunan populasi protozoa.