PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 1977
TENTANG
USAHA PETERNAKAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa dalam
rangka melaksanakan pembangunan nasional maka peternakan yang merupakan salah
satu faktor penunjang yang penting perlu diselenggarakan dengan tertib dan
teratur, sehingga dapat diperoleh ternak yang baik dan sehat;
b.
bahwa oleh
karena itu dipandang perlu mengatur usaha peternakan dengan Peraturan
Pemerintah;
Mengingat:
1.
Pasal 5 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) juncto Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2943);
3.
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2824);
4.
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun
1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) juncto Undang-undang Nomor
12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6.
Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan,
dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3101);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG USAHA PETERNAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Menteri adalah
Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang peternakan;
2.
Izin Usaha
Peternakan adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri atau pejabat lain
yang diberi wewenang olehnya, yang memberikan hak untuk melaksanakan perusahaan
peternakan;
3.
Perusahaan
Peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus
pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersiil yang
meliputi kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur dan
susu serta usaha menggemukkan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan,
mengedarkan dan memasarkannya, yang untuk tiap jenis ternak melebihi dari
jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat;
4.
Peternakan
Rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan
yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak ditetapkan oleh
Menteri.
BAB II
WILAYAH USAHA DAN JENIS PETERNAKAN
Pasal 2
Seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia terbuka untuk semua jenis usaha di bidang peternakan;
kecuali apabila Menteri menetapkan lain.
Pasal 3
(1)
Jenis
peternakan dapat digolongkan menjadi:
a.
Peternakan
Unggas, yang terdiri dari bidang:
a.1.
peternakan ayam
telur;
a.2.
peternakan ayam
daging;
a.3.
peternakan ayam
bibit;
a.4.
peternakan
unggas lainnya;
b.
Peternakan
kambing dan domba;
c.
Peternakan
babi;
d.
Peternakan sapi
potong;
e.
Peternakan
kerbau potong;
f.
Peternakan sapi
perah;
g.
Peternakan
kerbau perah;
h.
Peternakan
kuda.
(2)
Menteri dapat
mengubah dan atau menambah jenis-jenis peternakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
BAB III
SYARAT-SYARAT PERMOHONAN IZIN USAHA PETERNAKAN DAN
KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA PETERNAKAN
Pasal 4
Setiap
perusahaan peternakan wajib memiliki Izin Usaha Peternakan.
Pasal 5
Izin Usaha
Peternakan dapat diberikan kepada:
a.
Badan Hukum
Indonesia;
b.
Perorangan
Warga negara Indonesia.
Pasal 6
(1)
Perusahaan
Peternakan wajib mempunyai tenaga ahli, modal, dan peralatan yang cukup sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
(2)
Syarat-syarat
dan tata cara pengajuan permohonan serta pemberian Izin Usaha Peternakan
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 7
Setiap Izin
Usaha Peternakan dikenakan Iuran Izin Usaha Peternakan yang besarnya serta tata
cara pemungutan, penyetoran, dan penggunaannya ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri setelah mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1)
Pemegang Izin
Usaha Peternakan wajib dengan nyata-nyata dan sungguh-sungguh mendirikan dan
menjalankan perusahaan peternakan sesuai dengan rencana yang telah disetujui
oleh Menteri.
(2)
Izin Usaha
Peternakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 tidak dapat dipindah tangankan
dengan cara dan atau bentuk apapun.
Pasal 9
Pemegang Izin
Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud Pada Pasal 8 ayat (1) wajib memperhatikan
dan melaksanakan segala ketentuan di bidang peternakan, pencegahan,
pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan serta ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
JANGKA WAKTU DAN JENIS USAHA
Pasal 10
(1)
Izin Usaha
Peternakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 diberikan menurut jenis/bidang
usaha yang dilakukan, masing-masing untuk jangka waktu ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri.
(2)
Setelah jangka
waktu yang ditetapkan habis, maka Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang atas permintaan pemegang
izin yang bersangkutan.
Pasal 11
(1)
Izin Usaha
Peternakan diberikan dan berlaku untuk 1 (satu) jenis atau lebih dari 1 (satu)
bidang usaha peternakan.
(2)
Persyaratan dan
ketentuan-ketentuan lain dari tiap-tiap jenis atau bidang usaha peternakan
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB V
BIMBINGAN DAN PENGAWASAN
Pasal 12
(1)
Menteri atau
pejabat yang ditunjuk olehnya melakukan bimbingan dan pengawasan atas
pelaksanaan perusahaan-perusahaan peternakan.
(2)
Tata cara dan
pelaksanaan bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VI
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PETERNAKAN
Pasal 13
Izin Usaha
Peternakan berakhir karena:
a.
Jangka waktu
yang diberikan telah berakhir;
b.
Diserahkan
kembali oleh pemegang izin kepada yang berwenang sebelum jangka waktu diberikan
berakhir;
c.
Dicabut oleh
yang berwenang memberikan Izin Usaha Peternakan, karena pemegang izin yang
bersangkutan melakukan suatu pelanggaran;
d.
Perusahaan yang
bersangkutan jatuh pailit;
e.
Perusahaan yang
bersangkutan menghentikan usahanya.
Pasal 14
Izin Usaha
Peternakan dicabut karena:
a.
Pemegang Izin
tidak melakukan usahanya secara nyata dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah Izin
Usaha Peternakan dikeluarkan;
b.
Pemegang Izin
tidak mentaati serta melakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 15
(1)
Barang siapa
dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
Pasal-pasal 4, 8 dan 9 diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua)
tahun.
(2)
Barang siapa
karena kealpaannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
Pasal-pasal 4, 8 dan 9 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam)
bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah).
(3)
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan, tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah pelanggaran.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1)
Hal-hal yang
belum atau belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
(2)
Selama
ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini belum ditetapkan, maka ketentuan
yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa Peraturan
Pemerintah ini.
(3)
Izin Usaha
Peternakan yang telah dikeluarkan sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan,
disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta
Pada Tanggal 16 Maret 1977
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 16 Maret 1977
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH.